Lingkar Diskusi Indonesia (LIDI) Gelar Webbinar ,Tema: Politisasi Agama, Pemicu Intoleransi, Radikalisasi dan Terorisme
Reportasebhayangkara.com
JAKARTA, Kegiatan Webinar dengan tema “Politisasi Agama, Pemicu Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme” yang di selenggarakan oleh Lingkar Diskusi Indonesia (LIDI). Kegiatan Webinar di selenggarakan melalui aplikasi Zoom Meeting Id : 861 8882 9311, Passcode : 030280, dengan jumlah 120 peserta, Kamis (7/7/2022).
Dalam kegiatan dimoderatori
oleh Afditiya Imam Fahlevi yang juga merupakan Jurnalis dan diisi oleh narasumber Islah Bahrawi (Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia), Stanislaus Riyanta (Pengmat Intelijen dan Terorisme), Fernando EMAS (Direkrue Eksekutif Rumah Politik Indonesia)
Hal yang disampaikan oleh Islah Bahrawi (Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia), yakni adanya pluralitas sikap terhadap agama dan politik. Pemerintah yang mendukung maupun membatasi ruang gerak agama sama-sama besarnya. Satu sisi, banyak pemerintah yang “mengunci” peran sentral agama di publik, sementara di pihak lain banyak juga agama yang mempengaruhi dan mendikte dunia politik. intoleransi dan radikalisme adalah kata-kata yang melekat dalam setiap peradaban manusia. Ia bisa hinggap kepada siapa saja, baik kepada yang beragama atau yang tidak mempercayai keyakinan apa pun. Namun bagi manusia yang beragama, setidaknya terdapat keyakinan paling mendasar bahwa semua agama dilahirkan dengan basis kemanusiaan dan kedamaian. Dalam setiap agama selalu ada perbuatan yang dilarang dan ada yang diwajibkan. Dosa dan pahala serta halal dan haram, adalah dua sisi perlambang ketaatan dan pembangkangan.Tapi semua aturan agama tak sesederhana itu. Di tangan manusia, ia berelaborasi dalam berbagai interpretasi. Dari berbagai rujukan dengan disiplin keilmuan agama, manusia lalu menuangkannya secara lebih rinci dalam laku kehidupan sehari-hari. Inilah yang disebut ‘tafsir-tafsir’ itu. Setiap agama selalu menghargai perbedaan dan melawan segala bentuk kebencian dengan berlebel agama. Kita adalah pemeluk dari tafsir-tafsir agama. Radikalisme tidak hanya berlandaskan agama tapi ada juga yang berlandaskan pada ekonomi dan politik. Kejahatan atas nama agama akan selalu terlihat terhormat. pemikiran setiap manusia selalu berbeda, maka penafsiran terhadap yurisprudensi hukum agama juga akan berbeda. Dari sini lahirlah berbagai perbedaan dari setiap hukum agama, yang kemudian memunculkan madzhab, ijtihad, aliran dan sekte-sekte. Kita semua hari ini adalah pemeluk tafsir-tafsir itu, dan sudah barang tentu semua mengaku yang paling benar. Klaim ini yang seringkali membuat sebagian orang berusaha mendegradasi keyakinan orang lain. Jangankan terhadap yang berbeda agama, bahkan kepada yang seagama sekalipun. Seringkali karena keyakinan atas tafsir- tafsir, kita melupakan fungsi dasar agama sebagai norma untuk menertibkan akhlak atau moral manusia. Sungguh tidak mungkin agama diturunkan agar manusia saling hujat, saling serang, terlebih lagi saling bunuh satu sama lain. Orang yang tidak sanggup bertahan dengan peradaban dan tidak sanggup menulis sejarah cenderung ingin mengubah sejarah. Mereka yang menjadikan agama sebagai kendaraan politik sudah terjadi sejak lama. Orang yang mendebat sejarah sebenarnya adalah orang yang tidak tahu sejarah itu.
Dengan beragama manusia seharusnya tidak gelisah oleh keyakinan orang lain. Karena semua agama sejatinya berkonsep luhur dengan dasar kemanusiaan dan kedamaian. Menganggap paling benar terhadap keyakinan kita, tidak harus dengan menyalah-nyalahkan keyakinan orang lain. Mencintai agama yang kita peluk, tidak harus dengan membenci agama orang lain. Dalam konteks setiap keyakinan, ketika kita mengkafirkan orang lain, orang lain juga akan mengkafirkan kita. Ketika kita menghujat sesembahan orang lain, orang lain juga akan menghujat sesembahan kita. Dalam Islam, sikap ini sangat dilarang. Karenanya, jangan pernah mencaci-maki keyakinan orang lain, karena agama akan kehilangan fungsinya. Semua kejahatan yang menggunakan agama sebenarnya hanya ingin menormalisasi kejahatan itu sendiri. Konflik dalam sejarah Islam itu tercermin dalam Perang Jamal, Perang Siffin, Perang Qurra, Perang Zab yang ke semua ini perang politik yang mengatasnamakan agama. Dalam buku saya ini rujukannya sejarah dan filsafat. Ini adalah bagian dari upaya untuk mengembalikan agama kepada konsep awalnya: kemanusiaan dan kedamaian. Apa pun agama dan tafsir yang diyakininya, jika dua prinsip ini dijalankan secara utuh maka agama tidak akan melenceng di kalangan penganutnya. Terlebih lagi di tengah gempuran berbagai narasi digital yang penuh ambiguitas hari ini, melalui buku Intoleransi dan Radikalisme, masyarakat diharapkan tidak terombang-ambing dalam sekat-sekat kebencian karena perbedaan,” imbuh dia. Agama akan kembali dalam daya tariknya sebagai sarana untuk mempertebal rasa kemanusiaan, kedamaian, saling cinta dan saling mengenal satu sama lain.
Gerakan radikalisme dan terorisme bukan hal yang baru dalam pergumulan kita beragama dan bernegara. Kalau kita rajin membaca buku-buku bahwa aksi-aksi intoleransi, radikalisme yang kita rasakan saat ini merupakan pengulangan dari masa lalu dengan tampilan dan wajah yang berbeda. Kekerasan dalam Islam tidak berdiri sendiri. Semuanya lahir dan dipengaruhi oleh tafsir dan sosio-kultural. Sebagai halaman utama dalam sejarah pertarungan dan pertentangan suksesi politik dalam ruang agama, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Islam tidak mewariskan tafsir tunggal. Khilafah itu bukan sistem yang direkomendasikan oleh Nabi Muhammad dan diwahyukan Tuhan secara mutlak. Suksesi saja tidak ditentukan oleh Nabi. Orang-orang seperti Hizbut Tahrir ini adalah urusan politik, sedangkan agama sebagai bungkusnya. Dan kita perlu belajar dari sesuatu yang disampaikan Ibnu Khaldun yang telah menyuarakan kontra intoleransi, radikal-terorisme, kalau agama dibawakan dengan kekerasan maka orang akan menjauh dari agama dan orang-orang yang menjadikan agama sebagai bungkus belaka hanya akan melahirkan kekerasan. Maka sejarah-sejarah politisasi agama yang melahirkan kekerasan, perpecahan dan pertikaian harus kita antisipasi. Jangan sampai embrio-embrio politisasi agama terus berkembang di media sosial. Tidak saja akan melahirkan ketegangan tetapi konflik sesama dan dengan lainnya akan tercipta. Dan tahun 2024 akan menjadi postulat dalam gerakan politisasi agama. Embironya telah lahir dan mau tidak mau harus kita cegah. Jika agama sudah ditunggangi oleh politik maka kejahatan akan terlihat terhormat. Politisasi agama dimana-mana akan membuat konflik, termasuk di berbagai negara-negara. Seperti Afghanistan, Somalia dan lain sebagainya. Bahkan ada orang lahir di masa perang dan orang mati di masa perang. Ini semuanya harus kita cegah semaksimalnya. kekerasan, intoleransi, radikalisme dan terorisme menyasar semua agama. Tidak hanya terjadi dalam agama Islam. Intinya, ketika agama ditunggangi politik maka akan berpotensi melahirkan orang-orang brutal. Ini semuanya karena politiasi agama. Kita jangan mau dipengaruhi oleh kepentingan yang tidak membawa masalahat dalam bernegara. Jika kita terbawa arus maka pada akhirnya kita akan bernasib sama dengan mereka-mereka di masa lalu yang telah melakukan politisasi agama. Dan kita harus berani melawan politisasi agama. Namun bukan berarti agama dan politik kita pisahkan. Agama dan politik seyogyanya harus saling mengisi dan tidak saling menekan. Agama sebagai sumber inspirasi dalam bernegara dan negara/politik mewadahi praktik-praktik beragama yang toleran, damai dan menjunjung nilai-nilai universal
Di dalam sejarah peradaban yang ada, Islam selalu dipecah-belah oleh kepentingan politik pragmatisme, khususnya ketika ditambah dengan narasi keagamaan. Karena praktik yang sering terjadi, politisasi agama dapat memicu degradasi esensi nilai-nilai agama yang seharusnya mulai dan agung untuk persatuan dan kesatuan. Islam terpecah karena kepentingan politik. Sehingga yang terjadi adalah gerakan kekerasan yang mendegradasi esensi agama, selama ini Islam seringkali dianggap sebagai agama intoleran, ekstrimis, dan sejenisnya. Hal demikian terjadi karena beberapa kelompok mengatasnamakan agama Islam untuk kepentingan kekuasaan atau pragmatisme politik melakukan perilaku yang seperti itu, intoleran dengan perbedaan, selalu menitikberatkan eksklusivitas dan bertindak ekstrim bahkan tak segan-segan dengan narasi kasar dan perbuatan yang tidak mencerminkan rahmatan lil ‘alamin, oleh sebab itu, saya mengajak semua stakeholder umat Islam khususnya para tokoh dan warga Indonesia untuk bersama-sama aktif membebaskan stigman negatif bahwa Islam adalah agama yang intoleran, ekstrim dan sejenisnya itu. Caranya dengan berperilaku baik dan menyebarkan kebaikan. Maka, saya menginginkan untuk menyelamatkan Islam dari anggapan negatif, intoleran, ekstrimis, dan sejenisnya
Selanjutnya ada juga narasumber Sdr. Fernando EMAS (Direkrue Eksekutif Rumah Politik Indonesia) menyampaikan bahwa masih ada orang yang berupaya agar negara ini di giring menjadi negara yang berhakuan terhadap agama, sehingga perjuangan perjuangan itu masih di lanjutkan dari pemilihan presiden hingga daerah, sangat jelas di UUD kita melindungi segenap rakyat indonesia, jadi ketika mereka ingin membangun negara islam namun banyak mengandung perpecahan. tidak hanya agama saja yang dijadikan alat untuk mendulang suara rakyat, namun politik identitas seperti ras, etnis dan kelompok sosial lainnya diekploitasi besar-besaran dalam pesta demokrasi ini. politisasi agama yang mengemuka sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menimbulkan bekas yang sulit hilang sehingga digunakan lagi dalam pileg dan pilpres, politik dan agama tidak akan bisa berjalan seiringan dan malah akan menghasilkan demokrasi yang tidak sehat. Kalian tahu bahwa ketika politik dan agama bercampur akan seperti minyak dan api, mereka membuat kobaran api, daripada cahaya. Itu alasan kita mempunyai persoalan itu. Jadi sangat jelas sekali, politik identitas merupakan permasalahan yang sangat kuat di pemilu sekarang dan pemilu sebelumnya. Politik identitas artinya eksploitasi ekslusif identitas seperti agama, etnis, ras, kelompok sosial lainnya untuk untuk memobilisasi politik. Bahaya laten ‘politisasi Agama’ perlu kita waspadai bersama-sama. Karena politik identitas dan agama yang dipolitisir, adalah formula yang sangat mudah untuk melakukan radikalisasi dan penyesatan masyarakat. sikap pembiaran terhadap politisasi agama dan politik identitas justru membuka lebar-lebar bagi berkembangnya permainan semu (shadow game) yang menjajah cara berfikir masyarakat dan seakan-akan adalah hal yang lumrah, sehingga praktik yang demikian juga digunakan oleh oknum berkepentingan sebagai komoditas yang menjanjikan. Politik yang dibungkus agama selalu menjadi komoditas yang favorit untuk diperdagangkan di masyarakat yang mayoritas religius. Dalil-dalil agama selalu dijadikan justifikasi untuk mengambil langkah-langkah politik bagi mereka yang menjajakan politik identitas dan menggoreng agama sebagai komoditas. Saya berharap di Pemilu 2024 tidak ada lagi politik agama dan polarisasi dari pemndukung satu ke pendukung laiin nya, partai politik harus merekrut orang orang Nasionalis berjuang dan mengandalkan kemampuan nya dan meyakinkan masyarakat dan bukan menjual dengan agama tertentu dan agama yg sama dengan dia yang harus memilih pemimpin tersebut.
Narasumber terakhir yakni Stanislaus Riyanta (Pengamat Intelijen dan Terorisme) menjelaskan terkait faktor politik memang jadi salah satu pendorong, terutama politik identitas, tapi bukan faktor utama, faktor utama tetap ideologi.
(RED/IAN).